Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 5): Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
8 jam lalu

Salah satu penyebab banyak perselisihan di kalangan kaum muslimin adalah sikap meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seringkali perdebatan muncul dikarenakan seseorang mengemukakan pendapat yang tidak datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pendapat yang muncul datang dari hawa nafsu, baik dorongan kepentingan pribadi, kelompok, maupun faktor pendorong lainnya. Akhirnya, tersebarlah pendapat nyeleneh yang menyelisihi makna yang disepakati ahli ilmu sehingga muncullah kekacauan dan menghasilkan perdebatan.

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada bidang ilmu kalam, pertentangan di antara penafsiran dalil yang menjadi akidah dan keyakinan kuat tentang zat Allah ﷻ dan perbuatan-Nya misalnya. Apabila tidak kemasukan pendapat aneh dari kalangan penikmat filsafat Yunani tentang ketuhanan, tentu tidak akan ada perpecahan kelompok di tubuh Islam sebanyak hari ini. Tentu ini adalah takdir dari Allah ﷻ yang telah ditetapkan dalam lisan Nabi ﷺ yang pasti benar. Akan tetapi, penyebab terjadinya perpecahan umat ini dapat kita ambil sebagai pelajaran di hari ini dan nantinya.

Akibat meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah perselisihan. Dan akibat dari terus-menerus meninggalkannya dan mengedepankan hawa nafsu adalah perpecahan. Sebab apabila hawa nafsu telah menjadi komando, maka akan banyak sikap melampau yang betul-betul jauh dari adab dalam berselisih. Maka, hendaknya kita semua menyeru kepada persatuan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita menjadi umat terbaik sebagaimana para sahabat dan salaf mulia rahimahumullah.

Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tatkala berselisih adalah manhaj salaf

Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tatkala berselisih adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf shalih. Hal ini ditunjukkan dalam banyak atsar melalui jalur periwayatan yang sahih. Metode ini dapat menyelesaikan beragam tema permasalahan dari isu fikih, bahkan akidah dan juga politik.

Landasan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah saat berselisih adalah surah An-Nisa ayat 59. Allah ﷻ berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Dalam sebuah hadis terkenal dari sahabat Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dinilai sahih oleh Al Albani)

Mengedepankan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan meredam hawa nafsu hizbiyah

Mengedepankan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan meredam hawa nafsu untuk membela golongan. Sehingga argumentasi menjadi rasional, serta tidak membela ataupun membantah secara membabi-buta. Bahkan meskipun ia adalah murid dari seorang guru, ataupun pembelajar dari salah satu mazhab, semua label yang melekat padanya tidak akan menghalanginya mengatakan kebenaran dan mengakui kekurangan.

Ambillah nasihat yang indah dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut,

 فلا يجوز لأحد أن يجعل الأصل في الدين لشخص إلا لرسول الله ، ولا لقول إلا لكتاب الله ، ومن نصب شخصاً كائناً من كان فوالى وعادي على موافقته في القول والفعل؛ فهو مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ  وَكَانُوا شِيَعًا 

“Maka tidak halal bagi siapa pun menjadikan seseorang sebagai pokok dalam agama, selain Rasulullah ﷺ. Dan tidak pula menjadikan suatu ucapan sebagai sumber utama selain Kitabullah. Barang siapa menjadikan seseorang—siapapun dia—sebagai tolok ukur, lalu loyal dan memusuhi berdasarkan kesesuaian orang itu dalam ucapan dan perbuatan, maka ia termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan.’ (QS. Ar-Rum: 32)” (Majmu’ Fatawa, 20: 8)

Tidak boleh menjadikan mazhab dan komunitas sebagai standar kebenaran

وإذا تفقه الرجل وتأدب بطريقة قوم من المؤمنين مثل: أتباع الأئمة والمشايخ؛ فليس له أن يجعل قدوته وأصحابه هم العيار، فيوالي من وافقهم ويعادي من خالفهم.

“Jika seseorang mendalami ilmu dan beradab dengan cara sekelompok kaum mukminin, seperti mengikuti imam-imam atau para masyaikh, maka tidak boleh menjadikan panutan dan teman-temannya sebagai standar kebenaran, lalu ia berloyalitas pada siapa yang sejalan dengan mereka dan bermusuhan dengan siapa yang menyelisihi mereka.

وليس لأحد أن يدعو إلى مقالة أو يعتقدها لكونها قول أصحابه، ولا يناجز عليها، بل لأجل أنها مما أمر الله به ورسوله، أو أخبر الله به ورسوله؛ لكون ذلك طاعة الله ورسوله

Tidak boleh juga seseorang menyeru kepada suatu pendapat atau meyakininya hanya karena itu adalah ucapan kelompoknya, atau berkonflik karena hal itu, melainkan karena hal itu merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau termasuk hal yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa, 20: 9)

Sehebat apapun guru dan kelompok belajar seseorang, tidak dapat menjadikannya alasan yang benar untuk menyandarkan pendapatnya sebagai satu-satunya kebenaran. Kebenaran tetap dinilai berdasarkan kesesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak boleh ia menjadikan wala’ dan bara’ dalam beramal dan berdakwah dengan alasan, “Ini pendapat guruku” atau “Ini pendapat mazhabku.” Kecuali semua pendapat itu didasarkan kepada Kalamullah dan kalam Rasulillah ﷺ.

Berargumentasi dengan pandangan seorang guru dan mazhab atau juga kelompok diperbolehkan jika dalam rangka menerangkan makna atau ijtihad. Namun, dalam perkara ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa kaum muslimin mengikuti pendapat guru ataupun mazhab tertentu. Maka, kesimpulannya adalah pendapat selain yang datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak bisa dijadikan bahan perdebatan karena ia bukanlah standar kebenaran mutlak.

Inilah keindahan kaidah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam berdakwah dan berselisih pendapat. Sebab, Al-Qur’an diturunkan Allah ﷻ menjadi hakim. Allah ﷻ berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ رَأَيْتَ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا

“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa’: 61)

Dalam ayat lain, Allah ﷻ menegaskan bahwa hakikat keimanan tidak akan tercapai kecuali dengan menjadikan Nabi ﷺ dengan sunnahnya sebagai hakim pemutus perselisihan. Allah ﷻ berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Kita sangat butuh hidayah ketika berselisih

Dalam perselisihan, kita sangat membutuhkan hidayah petunjuk sehingga dapat keluar dari ruwetnya perdebatan. Allah ﷻ memberikan jalan agar kita mendapatkan hidayah, yakni dengan beriman kepada-Nya dan mengikuti Nabi ﷺ. Dalam potongan ayat-Nya, Allah ﷻ berfirman,

فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ ٱلنَّبِىِّ ٱلْأُمِّىِّ ٱلَّذِى يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَكَلِمَٰتِهِۦ وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 158)

Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jujur

Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah jangan hanya dijadikan sekadar slogan apalagi kebanggaan kelompok semata. Seruan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaknya dijalani dengan kejujuran dan ketulusan. Sehingga ketika telah dibentangkan dalil dan argumentasi yang terang darinya, maka tidak sulit baginya untuk merujuk pendapatnya. Bukan malah sebaliknya, yakni menjadikan Kitabullah dan hadis Nabi ﷺ sebagai alasan untuk berkilah dengan memelintir maknanya atau bahkan menyimpangkan lafaznya.

Oleh karena itu, di sinilah pentingnya menggandengkan seruan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaf shalih. Karena dengan acuan pemahaman salaf-lah, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dapat disimpangkan pemaknaannya. Berpegang teguh terhadap metode mereka, melihat praktik yang mereka jalankan, memahami perbedaan di antara mereka sehingga mengetahui keluasan berbeda pendapat. Dengan demikian, kita bisa menjadi umat yang beragama dalam koridor kebenaran yang dijamin oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

وَالسّٰبِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهٰجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسٰنٍ رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا الْأَنْهٰرُ خٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100)

Keridaan Allah ﷻ atas para sahabat dan keadaan mereka adalah argumen yang sangat kuat untuk menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan paradigma dan konstruksi keilmuan para salaf. Karena Allah ﷻ menghimpun keridaannya kepada para sahabat Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka, di dalamnya terkandung perintah untuk menyocoki mereka semaksimal mungkin sehingga Allah ﷻ meridai serta memberikan ganjaran surga dan kemenangan yang besar.

Kesimpulan

Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka perselisihan dapat dipadamkan. Baik benar-benar selesai secara materi pembahasan, maupun selesai proses berselisihnya meskipun salah satu pihak masih terus menyelisihi atau bahkan menyerang. Setidaknya bagi mereka yang kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menemukan kebenarannya, lalu tenang dalam mengamalkannya, kemudian berpaling dari orang yang menyelisihinya sebagaimana firman Allah ﷻ (yang artinya), “Berpalinglah dari orang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199)

Karena hakikatnya, dakwah dan adu argumen bagi seorang muslim adalah seruan dan ajakan menuju kebenaran. Oleh karena itu, apabila kebenaran telah ditemukan, yakni di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak perlu lagi menghabiskan tenaga untuk berlarut-larut dalam perselisihan.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 4

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.

Al-Bahits Al-Hadits, dari sunnah.one.

Ushul Naqd Al-Mukhalifihi, karya Syekh Fathi Al-Maushuli hafizhahullah. Diringkas oleh Faris Al-Mishry hafizhahullah.

Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah rahimahullah.


Artikel asli: https://muslim.or.id/107589-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-5.html